Header Ads

Trump Dapat Hak Tambang Usai Damai Rwanda-DRC


Penandatanganan perjanjian damai antara Rwanda dan Republik Demokratik Kongo di Washington pekan ini langsung menuai sorotan luas di kawasan Afrika dan dunia internasional. Meski di atas kertas perjanjian itu dimaksudkan untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama puluhan tahun di wilayah timur Kongo, banyak pihak menilai kesepakatan tersebut lebih sarat kepentingan geopolitik ketimbang murni perdamaian.

Konflik antara Rwanda dan Kongo berakar dari tragedi genosida 1994, di mana jutaan warga etnis Tutsi dan Hutu terbunuh. Setelahnya, wilayah perbatasan kedua negara di Kivu Timur terus menjadi ladang pertempuran antara milisi, tentara pemerintah, dan kelompok bersenjata asing. Situasi ini diperparah oleh perebutan kontrol atas lahan tambang kaya emas, kobalt, coltan, dan berlian.

Ketika dunia berharap akan tercipta perdamaian sejati, perjanjian yang difasilitasi Amerika Serikat ini justru memunculkan kejanggalan. Dalam pidatonya di Washington, mantan Presiden AS Donald Trump secara terbuka menyatakan bahwa salah satu hasil strategis dari kesepakatan ini adalah diperolehnya hak tambang bagi perusahaan-perusahaan Amerika di wilayah timur Kongo.

Trump menyebut kesepakatan tersebut sebagai kemenangan ekonomi bagi AS, tanpa banyak membahas detail perjanjian tentang mekanisme rekonsiliasi, rehabilitasi korban perang, atau langkah perlindungan bagi warga sipil di daerah konflik. Pernyataan ini memicu kemarahan sejumlah aktivis HAM Afrika yang menilai kepentingan rakyat lokal diabaikan demi keuntungan ekonomi pihak luar.

Beberapa pengamat menyebut perjanjian itu sangat minim transparansi. Tidak ada rincian yang jelas soal status milisi bersenjata di Kivu, jadwal penarikan pasukan, atau sistem pengawasan pascaperjanjian. Sebaliknya, yang diumumkan justru daftar blok konsesi tambang yang akan dioperasikan perusahaan Amerika dan sekutunya.

Di Kinshasa, sejumlah anggota parlemen DRC mengecam keras perjanjian tersebut. Mereka menilai pemerintah telah menjual kedaulatan negara demi ketenangan politik sesaat. Banyak kalangan khawatir langkah ini justru akan memperparah ketimpangan ekonomi di Kongo, di mana hasil kekayaan alam selama ini lebih banyak dinikmati perusahaan asing ketimbang rakyatnya.

Di Kigali, pemerintah Rwanda menyambut perjanjian itu sebagai langkah positif menuju stabilitas kawasan. Namun di balik sikap resmi itu, sejumlah media independen Rwanda mengungkap bahwa kesepakatan tersebut kemungkinan besar menjadi sarana untuk menutup pelanggaran Rwanda selama ini di wilayah Kongo, termasuk dugaan keterlibatan dalam eksploitasi mineral ilegal.

Bagi AS, terutama di era Trump, kawasan Kongo selalu dipandang sebagai salah satu titik strategis dalam perebutan sumber daya mineral global. Kobalt dan coltan yang terdapat di timur Kongo adalah komponen vital untuk industri baterai, kendaraan listrik, dan teknologi militer. Penguasaan atas jalur distribusi mineral ini menjadi target utama Washington di Afrika Tengah.

Sejumlah aktivis internasional dari organisasi Global Witness dan Human Rights Watch menuding perjanjian ini mengabaikan aspek keadilan bagi korban perang. Tidak ada kejelasan mengenai upaya penyelidikan atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama konflik berlangsung, termasuk dugaan pembantaian massal, pemerkosaan, dan perampasan lahan.

Pihak oposisi di DRC meminta agar perjanjian ini dibuka ke publik dan diawasi oleh lembaga independen internasional. Mereka mendesak agar penandatanganan hak tambang di kawasan konflik ditunda hingga tercipta kondisi aman dan demokratis di wilayah tersebut.

Trump dalam pidatonya justru menegaskan bahwa perjanjian ini adalah contoh bagaimana AS bisa mengambil alih sumber daya strategis tanpa harus mengerahkan pasukan besar. Pernyataan tersebut dianggap mempermalukan nilai kemanusiaan dan diplomasi damai yang selama ini didengungkan PBB.

Di tengah keraguan atas isi kesepakatan itu, rakyat di wilayah timur Kongo tetap menghadapi kondisi sulit. Meski diumumkan damai, aktivitas milisi dan kelompok bersenjata di wilayah Ituri dan Kivu masih berlangsung, sementara aparat pemerintah belum mampu menjamin keamanan penduduk setempat.

Sejumlah analis menyebut perjanjian ini lebih bertujuan menata ulang kontrol ekonomi di kawasan, bukan menyelesaikan akar konflik. Dengan hak konsesi tambang di tangan perusahaan asing, warga lokal diperkirakan tetap terpinggirkan dalam pengelolaan sumber daya alam mereka sendiri.

Pemerintah Rwanda sendiri ditengarai mendapatkan kompensasi terselubung dalam bentuk proyek infrastruktur dan dukungan politik atas klaim wilayahnya. Sementara itu, pemerintah DRC diduga menerima imbalan politik berupa bantuan militer dan dana pembangunan pascakonflik.

Organisasi masyarakat sipil di Afrika Tengah meminta Uni Afrika dan PBB turun tangan untuk mengevaluasi kesepakatan ini. Mereka khawatir bahwa perjanjian ini hanya akan memperkuat dominasi elite politik dan korporasi asing di atas penderitaan warga lokal.

Di media sosial Kongo dan Rwanda, warganet ramai-ramai menyebut perjanjian ini sebagai bentuk kolonialisme gaya baru. Mereka mempertanyakan mengapa upaya perdamaian harus disertai pembagian konsesi tambang yang didominasi negara asing.

Isu ini juga menjadi perhatian di Dewan Keamanan PBB, di mana beberapa negara anggota meminta penjelasan soal isi perjanjian tersebut dan dampaknya terhadap hak asasi manusia di kawasan konflik.

Dengan masih banyaknya tanda tanya dan ketegangan di lapangan, masa depan perdamaian di wilayah timur Kongo tetap rapuh. Jika konflik bersenjata berhenti, tapi eksploitasi sumber daya berlanjut tanpa keadilan, perdamaian sejati kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Perjanjian ini membuktikan bahwa di balik slogan diplomasi, kepentingan ekonomi dan kontrol atas kekayaan alam tetap menjadi faktor utama dalam geopolitik Afrika. Kini dunia menanti, apakah perjanjian itu akan membawa kedamaian atau justru memperpanjang daftar luka di Benua Hitam.

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.