Header Ads

Konflik Timur Tengah Picu Gelombang Pulang Pengungsi ke Afghanistan



Seiring meningkatnya ketegangan di kawasan Timur Tengah, dampak konflik bersenjata antara Israel dan Iran tidak hanya terasa di medan tempur maupun pusat diplomasi, tapi juga merambat hingga ke kawasan Asia Selatan dan Tengah. Salah satu dampak yang tak terduga adalah percepatan kepulangan jutaan pengungsi Afghanistan dari negara-negara tetangga, khususnya Iran dan sebelumnya Pakistan, yang selama puluhan tahun menjadi tempat perlindungan bagi warga Afghanistan yang melarikan diri dari perang di tanah airnya.

Pada puncak konflik di Afghanistan, diperkirakan sekitar lima juta warga Afghanistan mengungsi ke Iran untuk mencari perlindungan. Iran, yang selama beberapa dekade menjadi salah satu tujuan utama eksodus warga Afghanistan, kini hanya menampung sekitar dua juta pengungsi, seiring semakin rumitnya situasi geopolitik di kawasan tersebut. Ketegangan antara Israel dan Iran secara langsung maupun tidak telah mempengaruhi kebijakan domestik Iran terhadap para pengungsi.

Selain alasan keamanan dalam negeri, keberadaan para pengungsi Afghanistan di Iran disebut-sebut menjadi sasaran infiltrasi oleh badan intelijen asing seperti Mossad. Fenomena ini membuat posisi para pengungsi yang tak tahu menahu semakin rentan, karena mulai tumbuh rasa curiga di tengah masyarakat Iran terhadap komunitas pengungsi yang jumlahnya cukup besar. Kondisi ini menambah tekanan psikologis dan sosial bagi para pengungsi yang sudah hidup dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun.

Sebelumnya, Pakistan juga telah mengambil langkah serupa dengan menghentikan izin tinggal para pengungsi Afghanistan. Kebijakan ini menyebabkan jutaan pengungsi yang telah tinggal selama puluhan tahun di Pakistan terpaksa kembali ke Afghanistan dalam waktu singkat. Banyak dari mereka yang tak lagi memiliki keluarga atau rumah di tanah kelahiran, membuat kepulangan ini lebih mirip pengungsian baru ketimbang repatriasi sukarela.

Perang antara Israel dan Iran yang dimulai pada pertengahan Juni 2025 telah memaksa maskapai-maskapai penerbangan internasional mengubah jalur penerbangan mereka. Akibat ditutupnya wilayah udara di sebagian besar negara Timur Tengah seperti Iran, Irak, Suriah, dan Lebanon, jalur udara di atas Afghanistan yang sebelumnya sepi kini menjadi lalu lintas padat bagi pesawat-pesawat dari Asia ke Eropa dan Amerika.

Data dari situs pelacak penerbangan internasional menunjukkan lonjakan luar biasa hingga 500% dalam jumlah penerbangan yang melintasi wilayah udara Afghanistan sejak pecahnya konflik di kawasan Teluk. Jika sebelumnya hanya sekitar 50 penerbangan per hari yang melewati langit Afghanistan, kini jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 280 penerbangan harian, menjadikan wilayah udara di bawah kendali Taliban itu sebagai jalur alternatif vital.

Ironisnya, lonjakan aktivitas udara ini terjadi justru saat gelombang kepulangan pengungsi juga sedang berlangsung. Banyak pengungsi Afghanistan yang selama ini berada di Iran dan Pakistan memilih kembali ke negaranya lantaran tekanan politik dan keamanan yang makin sulit mereka hadapi di negara pengungsian. Faktor geopolitik dan kebijakan domestik negara-negara tetangga membuat opsi bertahan di luar negeri semakin tertutup.

Selain itu, ketegangan regional juga memengaruhi situasi kemanusiaan di perbatasan Afghanistan. Arus kepulangan ribuan orang setiap hari menimbulkan tantangan logistik, keamanan, dan kemanusiaan baru bagi otoritas Taliban. Laporan organisasi bantuan internasional menyebutkan bahwa banyak pengungsi yang kembali tanpa memiliki kepastian tempat tinggal, pekerjaan, atau akses layanan dasar.

Perubahan jalur penerbangan akibat konflik Timur Tengah juga berdampak terhadap stabilitas udara di Afghanistan. Meskipun Taliban berusaha menjamin keamanan di langit mereka demi menjaga jalur udara tetap terbuka, masih ada kekhawatiran dari maskapai internasional soal potensi gangguan keamanan di wilayah tersebut. Sejauh ini, belum ada insiden besar, namun risiko tetap membayangi.

Di sisi lain, meningkatnya penerbangan sipil di atas Afghanistan menghadirkan keuntungan ekonomi tak langsung bagi negara itu. Setiap pesawat yang melintas dikenakan biaya hak lintas udara, yang menjadi sumber pendapatan baru bagi pemerintah Taliban. Namun, keuntungan ini harus dibayar dengan risiko keamanan yang tinggi, mengingat masih ada aktivitas kelompok bersenjata di beberapa wilayah Afghanistan.

Di tengah situasi ini, tuduhan soal infiltrasi intelijen asing ke dalam komunitas pengungsi Afghanistan tak kunjung reda. Mossad disebut-sebut memanfaatkan situasi konflik dan migrasi untuk menyusupkan agen-agen ke kawasan Asia Selatan melalui jalur pengungsi. Kecurigaan ini membuat ketegangan sosial meningkat di Iran dan Pakistan sebelum akhirnya kedua negara mengambil keputusan memperketat pengawasan dan mengusir sebagian besar pengungsi.

Pakistan, yang sebelumnya menjadi negara penampung terbesar kedua setelah Iran, telah mengumumkan bahwa seluruh pengungsi Afghanistan tanpa dokumen resmi harus meninggalkan negara itu. Kebijakan keras ini menyebabkan ratusan ribu orang harus berkemas dalam waktu singkat dan kembali ke Afghanistan tanpa persiapan yang memadai.

Gelombang kepulangan ini diperkirakan akan terus berlanjut selama konflik Timur Tengah belum mereda. Pemerintah Taliban sendiri belum memiliki kapasitas cukup untuk menampung dan mengatur para pengungsi yang kembali dalam jumlah besar, apalagi di tengah keterbatasan ekonomi dan isolasi diplomatik yang masih mereka alami.

Situasi ini juga memperumit kondisi keamanan di Afghanistan. Dengan lonjakan jumlah penduduk yang kembali dan lalu lintas udara yang meningkat tajam, potensi kerawanan di dalam negeri makin tinggi. Taliban dihadapkan pada dilema antara mengamankan jalur udara internasional yang kini menjadi sumber devisa, dan mengelola kepulangan warganya yang puluhan tahun hidup di luar negeri.

Pihak maskapai dan otoritas penerbangan internasional sejauh ini terus memantau perkembangan situasi di Afghanistan.

Secara keseluruhan, eskalasi konflik Israel-Iran telah menciptakan efek domino yang luas, mulai dari pergeseran jalur penerbangan hingga pergeseran populasi manusia lintas perbatasan. Afghanistan, yang sebelumnya cenderung terpinggirkan dari peta geopolitik Timur Tengah, kini justru menjadi salah satu titik penting dalam peta strategis penerbangan global dan arus migrasi akibat konflik regional.

Krisis ini menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas kawasan dan bagaimana konflik di satu titik dapat memicu perubahan besar di wilayah lain. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang tak kunjung usai tak hanya menyisakan korban jiwa dan reruntuhan, tapi juga menciptakan gelombang manusia yang terlunta-lunta mencari tempat bernaung. Afghanistan menjadi saksi bisu dari gelombang perubahan ini.

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.