Header Ads

Jejak Keluarga Syekh Abdurrauf Al-Fansuri di Singkil: Ulama Aceh dari Pakpak atau Batak yang Menakjubkan

Sosok Syekh Abdurrauf Al-Fansuri atau dikenal pula sebagai As-Singkily masih menyisakan tanda tanya sejarah mengenai akar etnis dan jejak kehidupan awalnya. Banyak yang mengenal beliau sebagai Mufti Agung Kesultanan Aceh Darussalam di era Sultanah Syafiatuddin Tajul Alam, namun benarkah ia juga memiliki jejak kuat sebagai bagian dari masyarakat Pakpak Bharat dan di kalangan Batak?

Penelusuran terhadap asal-usul keluarga Syekh Abdurrauf membawa kita pada nama Ali al-Fansuri, sang ayah, yang disebut-sebut pernah tinggal di Kuta Dukhu, wilayah yang kini termasuk Kabupaten Pakpak Bharat, dulunya bagian dari Kesultanan Barus. Perjalanan mereka ke Kerajaan Suro mengikuti alur Sungai Cinendang, melintasi belantara Aceh Singkil, tempat kelahiran dan pengabdian awal Syekh Abdurrauf.

Ali al-Fansuri dikenal sebagai ulama dan muballig yang piawai bergaul dengan masyarakat lokal. Ia bahkan diangkat menjadi saudara oleh warga bermarga Cibro atau Lembong, marga yang dikenal berasal dari wilayah Pakpak. Hubungan ini tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga meninggalkan jejak kultural berupa pusaka Syekh Abdurrauf yang kini disimpan oleh keluarga Cibro.

Cerita turun-temurun menyebutkan bahwa Ali al-Fansuri dan istrinya terpaksa mengungsi akibat sebuah peristiwa di daerah asalnya. Dalam hijrah itu, mereka tiba di Kerajaan Suro dan menetap di sana. Di tempat inilah, Syekh Abdurrauf dilahirkan dan tumbuh besar.

Makam kedua orang tuanya kini berada di tepi Sungai Lae Cinendang, seberang Desa Tanjung Mas, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil. Batu nisan bergaya khas—lonjong untuk ayah, pipih berelief untuk ibu—mengisyaratkan pengaruh budaya lokal yang melekat pada keluarga ini.

Cerita dari Imam Masjid Tanjung Mas, Kadiani, menambahkan dimensi baru atas kisah ini. Ia menyebut Ali al-Fansuri berasal dari daerah bermarga Lembong, yang merupakan marga khas masyarakat Pakpak, yang juga ada di Alas, Karo dan Tanah Batak. Apakah ini cukup kuat untuk menyebut Syekh Abdurrauf sebagai keturunan Pakpak atau Batak?

Fakta bahwa Ali al-Fansuri pernah menetap di wilayah Pakpak Bharat dan menjalin hubungan sosial dengan masyarakat setempat memang patut diperhitungkan. Namun, nasabnya tetap dikaitkan dengan Fansur, sebutan Arab untuk Barus, sebuah pelabuhan internasional di Tapanuli Tengah pada masa itu.

Dari sisi ibundanya, disebutkan bahwa Syekh Abdurrauf lahir dari perempuan Melayu asal Fansur. Dalam versi lain, nama ibunya adalah Aminah atau Umi Alum. Barus pada masa itu merupakan simpul peradaban dagang dan keilmuan Islam yang strategis, menjadikannya titik awal pergerakan intelektual Islam di Sumatera.

Namun, keterkaitan Fansur dengan Aceh kala itu juga perlu dikaji. Fansur secara administratif mungkin berada di luar Aceh modern, tetapi secara kultural dan politik, wilayah itu berada dalam pengaruh Kesultanan Aceh Darussalam. Maka, menyebut Abdurrauf sebagai ulama Aceh tidak sepenuhnya keliru.

Kedekatannya dengan Syekh Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi besar dari Barus, turut memperkuat jalinan identitas religius dan budaya yang menembus batas-batas etnis. Mereka bersama-sama menelusuri Sungai Singkil untuk menyebarkan ajaran Islam hingga ke pedalaman. Lihat situs sejarah Batu Aceh di Sidiangkat, Kabupaten Dairi dan lainnya.

Bukti-bukti arkeologis berupa makam tua, peninggalan manuskrip, serta kisah rakyat dari masyarakat Tanjung Mas hingga kini masih dirawat, meskipun belum sepenuhnya dikaji secara ilmiah. Pemakaman keluarga Syekh Abdurrauf bahkan masih menjadi lokasi ziarah yang menyimpan atmosfer sakral.

Namun, dengan kuatnya keterkaitan antara keluarga Syekh Abdurrauf dengan wilayah dan marga di Pakpak Bharat, muncul pertanyaan kritis: Apakah ia layak disebut sebagai ulama Pakpak? Ataukah nisbah "Fansuri" yang melekat lebih tepat merepresentasikan dirinya sebagai tokoh dari Barus yang kemudian diakui oleh Aceh?

Kisah pelarian, relasi sosial dengan marga lokal, hingga keterikatan emosional masyarakat Pakpak terhadap tokoh ini, tak bisa diabaikan. Semua unsur ini memperkaya perspektif kita atas identitas Syekh Abdurrauf yang selama ini lebih dikenal secara tunggal sebagai ulama Aceh.

Barangkali sudah waktunya membuka ruang diskusi akademik dan lintas budaya mengenai identitas tokoh ini. Tidak hanya untuk menyatukan benang sejarah yang berserakan, tetapi juga untuk memperkuat jembatan budaya antara masyarakat Aceh dan Pakpak Bharat serta daerah yang berada di sekitar Danau Toba seperti Kabupaten Dairi, Karo, Humbang Hasundutan, Toba, Samosir dan Tapanuli Utara.

Pada masa mudanya, Abdurrauf al-Fansuri mula-mula belajar pada ayahnya sendiri, kemudian melanjutkan menuntut ilmu kepada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia menunaikan ibadah haji dan dalam perjalanannya tersebut ia belajar kepada berbagai ulama di Timur Tengah untuk memperdalam pemahaman agama Islam.

Tarekat Syattariyah

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, salah satu gurunya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi, seorang tokoh penting dalam tarekat Syattariyah. Nama Abdurrauf tercantum dalam silsilah tarekat tersebut dan ia merupakan orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia.

Ia juga dikaitkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu berdasarkan karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul pada tahun 1884.

Dakwah dan Karya

Abdurrauf diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariyah yang diperolehnya selama di Timur Tengah. Salah satu ulama Nusantara yang dekat dengannya saat menuntut ilmu di Mekkah adalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati dari Makassar.

Murid-muridnya sangat banyak dan berasal dari berbagai daerah di Aceh dan wilayah Nusantara lainnya. Beberapa di antaranya bahkan menjadi ulama besar, seperti:

1. Syekh Burhanuddin dari Ulakan (Sumatera Barat),

2. Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan (Tasikmalaya),

3. Syekh Abdul Malik bin Abdullah (Tok Pulau Manis) dari Trengganu (Malaysia),

4. Baba Daud al-Rumi keturunan Turki dari Banda Aceh.

5. Dll.

Selain tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, murid-murid Abdurrauf juga membawa ajarannya hingga ke kawasan Asia Tenggara (ASEAN), seperti Malaysia, Thailand Selatan, dan Brunei. Hal ini menunjukkan luasnya pengaruh dakwah dan keilmuannya di dunia Islam regional.

Menurut Azyumardi Azra, banyak karya-karya Abdurrauf yang tersebar melalui tangan murid-muridnya. Beberapa karya pentingnya antara lain:

1. Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fikih atau hukum Islam, ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.

2. Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah tafsir Al-Qur’an pertama yang lengkap dalam bahasa Melayu.

3. Terjemahan Hadis Arba’in karya Imam Al-Nawawi, atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.

4. Mawa’iz al-Badî’, berisi nasihat-nasihat penting untuk pembinaan akhlak.

5. Tanbih al-Masyi, naskah tasawuf yang membahas pengajaran martabat tujuh.

6. Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, menjelaskan konsep wahdatul wujud.

7. Daqâiq al-Hurf, membahas ajaran tasawuf dan teologi Islam.

8. dll

Pada akhirnya, sejarah tidak hanya ditulis dari prasasti dan nisan, tetapi juga dari ingatan kolektif dan jejak hidup yang tertinggal di tengah masyarakat. Syekh Abdurrauf Al-Fansuri, sebagai ulama besar, selayaknya diakui sebagai milik bersama—Aceh, Pakpak, dan seluruh warisan Nusantara.

Pertanyaan untuk direnungkan: Jika seorang ulama tumbuh dari jejak budaya dan tanah yang beragam, bisakah kita mengikatnya hanya pada satu identitas kedaerahan semata?

Alfatihah 3x

Sumber:

https://serambiwiki.tribunnews.com/amp/2021/05/11/kuburan-ayahanda-mufti-agung-kesultanan-aceh-di-tepi-sungai-lae-cinendang-aceh-singkil

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abdurrauf_al-Fansuri

https://sianjurmulamula.blogspot.com/2025/04/sebuah-kisah-dari-pustaka-alim-kembaren.html?m=1

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.